Kekuasaan Bukan untuk Menindas, Tapi Menjaga Martabat Rakyat
- account_circle admin
- calendar_month Sel, 16 Sep 2025

Moh. Syafik, Ketua Badan Legislatif FKMSB Pusat. (Foto: Dok/Ist).
Lens IDN, Opini – Dalam negara demokratis, kekuasaan idealnya digunakan untuk melayani rakyat, bukan sebaliknya. Fungsi utama kekuasaan adalah menjamin keadilan, melindungi hak-hak dasar warga negara, serta menjaga martabat kemanusiaan. Namun dalam praktiknya, kekuasaan sering kali menyimpang dari prinsip-prinsip tersebut. terutama ketika kritik rakyat dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas negara. Tragedi demonstrasi yang terjadi pada Agustus 2025 menjadi bukti bahwa kekuasaan bisa berubah arah menjadi alat penindasan ketika tidak dikendalikan dengan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan.
Tragedi Agustus 2025 dan Wajah Kekuasaan yang Represif
Demonstrasi besar-besaran pada akhir Agustus 2025 muncul sebagai respons atas gaya hidup hedonis anggota DPR, di tengah kondisi ekonomi rakyat yang memburuk. Namun, unjuk rasa ini berujung ricuh di berbagai wilayah dan memakan banyak korban. Salah satu yang paling memilukan adalah meninggalnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, yang terlindas kendaraan taktis Brimob saat berada di lokasi aksi.
Data Komnas HAM mencatat hampir ratusan orang ditangkap selama rentang waktu 25–28 Agustus, sementara Komnas Perempuan mengungkap sejumlah kekerasan aparat terhadap warga, termasuk pemukulan, intimidasi, dan penggunaan gas air mata yang kadaluwarsa. Cara negara merespons aspirasi publik dengan kekerasan menunjukkan bahwa kekuasaan telah kehilangan fungsinya sebagai pelindung rakyat. Tindakan represif ini juga mencederai prinsip hak warga untuk menyampaikan pendapat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945.
Kekuasaan Harus Berpihak pada Rakyat
Secara teoritis, kekuasaan adalah mandat dari rakyat yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Ketika pemegang kekuasaan bertindak tanpa moralitas dan keadilan, maka keabsahan kekuasaan tersebut perlu dipertanyakan. Filsuf sosial seperti Jurgen Habermas mengingatkan bahwa otoritas sejati hanya bisa hadir jika disertai dengan legitimasi moral. Dalam konteks Indonesia, Pancasila pun mengajarkan bahwa kekuasaan tidak boleh lepas dari prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial.
Presiden memang telah mengambil sejumlah langkah pasca-aksi, seperti mencabut tunjangan anggota dewan dan membatalkan perjalanan luar negeri DPR. Tapi langkah-langkah ini terlihat lebih seperti reaksi spontan ketimbang solusi mendalam. Yang dibutuhkan bukan sekadar pembatasan anggaran elite, tapi pemulihan kepercayaan rakyat terhadap negara.
Oleh karena itu, ketika negara justru memusuhi warganya yang menyuarakan kegelisahan, maka yang terjadi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi pengkhianatan terhadap amanah kekuasaan itu sendiri. Tragedi Agustus bukan hanya soal tindakan aparat, tetapi tentang bagaimana kekuasaan dipahami dan dijalankan oleh para pemegangnya.
Peristiwa demonstrasi Agustus 2025 menjadi cerminan bagi pemerintah untuk merefleksikan ulang bagaimana kekuasaan seharusnya digunakan. Tindakan-tindakan simbolik seperti pemotongan tunjangan pejabat tidak akan cukup jika pendekatan represif terhadap rakyat tetap dipertahankan. Yang dibutuhkan adalah perubahan cara pandang bahwa kekuasaan bukan untuk mempertahankan dominasi, tetapi untuk menjaga harkat hidup rakyat.
Jika pemerintah benar-benar ingin membangun negara yang adil dan demokratis, maka langkah pertama yang harus diambil adalah mengembalikan kekuasaan pada tempatnya: sebagai alat untuk mendengar, melayani, dan melindungi rakyat bukan menakut-nakuti apalagi menindas mereka.
Referensi
Komnas HAM. (2025). Laporan Penanganan Demonstrasi Nasional, 25–28 Agustus 2025.
Komnas Perempuan. (2025). Pelanggaran HAM terhadap Perempuan dalam Aksi Massa.
Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28E.
*) Penulis adalah Moh. Syafik, Ketua Badan Legislatif FKMSB Pusat.
- Penulis: admin