Netralitas Indonesia di Tengah Rivalitas AS–Tiongkok: Masih Relevan?
- account_circle admin
- calendar_month Sel, 14 Okt 2025

Sumber : Transcon Indonesia, Oleh Muhammad Jamil
Lens IDN, Opini – Di dunia yang makin nggak pasti ini, posisi Indonesia bisa dibilang mirip kayak orang yang duduk di tengah dua teman besar yang lagi berantem: Amerika Serikat dan Tiongkok. Keduanya sama-sama punya pengaruh besar terhadap ekonomi, politik, dan keamanan global. AS masih jadi simbol kekuatan demokrasi dan sekutu utama di bidang militer bagi banyak negara, sedangkan Tiongkok tumbuh jadi kekuatan ekonomi yang nggak bisa diabaikan, dengan jaringan investasi yang merambah ke mana-mana, termasuk ke Indonesia.
Selama beberapa tahun terakhir, rivalitas keduanya makin kentara. AS dorong Indo-Pasifik jadi kawasan bebas dan terbuka lewat Indo-Pacific Economic Framework (IPEF), sementara Tiongkok jalan terus dengan Belt and Road Initiative (BRI). Indonesia, yang berada di jalur strategis antara Samudra Hindia dan Pasifik, otomatis jadi rebutan pengaruh. Nggak cuma soal ekonomi dan militer, tapi juga soal arah politik luar negeri.
Bagi Indonesia, menjaga prinsip “bebas dan aktif” di tengah ketegangan ini jelas bukan hal gampang. Di satu sisi, Tiongkok jadi mitra dagang terbesar, dengan nilai perdagangan dua arah mencapai lebih dari 130 miliar dolar AS pada 2023. Tapi di sisi lain, AS juga penting bukan cuma karena peran ekonominya, tapi juga karena dukungan terhadap stabilitas kawasan dan kerja sama militer. Dilema ini bikin Indonesia harus benar-benar cermat membaca situasi: salah langkah sedikit bisa bikin hubungan dengan salah satu pihak retak, tapi terlalu berhati-hati juga bisa bikin kita dianggap “abu-abu” tanpa sikap tegas.
Dari Bebas-Aktif ke Netralitas Strategis
Sejak era Soekarno, politik luar negeri Indonesia dirancang untuk nggak terjebak pada blok tertentu. Filosofi “bebas dan aktif” lahir dari semangat Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955, di mana Indonesia dan negara-negara berkembang sepakat menolak jadi pion kekuatan besar. Tapi konteks sekarang jelas beda. Kalau dulu rivalitasnya ideologis antara blok Barat dan Timur, sekarang yang dihadapi adalah persaingan ekonomi dan teknologi yang super kompleks.
Netralitas bukan lagi berarti “diam dan nggak ikut campur”, tapi justru harus aktif memastikan kepentingan nasional nggak dikorbankan. Indonesia paham, jadi netral itu bukan berarti nggak punya pendirian. Buktinya, dalam isu Laut Cina Selatan, Indonesia tetap berpegang pada UNCLOS 1982 dan menolak segala bentuk klaim sepihak yang masuk ke zona ekonomi eksklusifnya. Di sisi lain, kita juga nggak ikut-ikutan retorika konfrontatif dari negara-negara Barat. Strategi yang dijalankan sekarang bisa dibilang sebagai bentuk hedging — alias menjaga jarak aman dari dua kekuatan besar sambil tetap memanfaatkan peluang dari keduanya. Lewat proyek BRI, Indonesia dapet investasi besar di infrastruktur seperti kereta cepat dan pelabuhan. Sementara lewat kerja sama dengan AS, kita dapet pelatihan militer, transfer teknologi, dan peningkatan kapasitas pertahanan. Tapi tentu, semua itu ada risikonya. Kalau nggak dikelola hati-hati, bisa jadi malah tergantung pada satu pihak dan kehilangan ruang manuver politik.
Makanya, Indonesia harus mulai berpikir tentang “netralitas strategis” netralitas yang bukan cuma simbolik, tapi berbasis kepentingan nasional jangka panjang. Fokusnya bukan lagi sekadar menjaga jarak, tapi memperkuat posisi tawar lewat pembangunan industri, kemandirian teknologi, dan diplomasi yang adaptif. Dengan begitu, kita nggak cuma jadi penonton dalam rivalitas global, tapi pemain yang punya pengaruh nyata.
Relevansi Netralitas di Dunia yang Nggak Netral
Pertanyaannya sekarang: masih relevan nggak sih netralitas Indonesia di zaman kayak gini? Jawabannya: masih, tapi dengan catatan. Dunia sekarang bukan lagi hitam putih. Setiap negara punya kepentingan sendiri, dan politik global nggak lagi sesederhana “kamu di kubu siapa”. Di situ justru letak kekuatan Indonesia, kemampuan untuk tetap fleksibel tanpa kehilangan arah.
Kalau dilihat dari sisi ekonomi, netralitas justru jadi modal penting buat jaga stabilitas. Indonesia bisa tetap buka peluang investasi dari siapa pun tanpa takut dicap condong ke satu pihak. Dalam diplomasi multilateral, posisi ini juga bikin kita bisa jadi jembatan antara negara maju dan berkembang, antara Barat dan Timur. Contohnya, waktu KTT G20 di Bali tahun 2022, Indonesia berhasil bikin forum itu tetap produktif walau di tengah ketegangan akibat perang Ukraina. Itu bentuk nyata dari netralitas yang cerdas: bukan pasif, tapi aktif menciptakan ruang dialog.
Tapi tentu, netralitas juga punya tantangan. Globalisasi digital, keamanan siber, dan persaingan teknologi bikin konsep “netral” jadi makin rumit. Kalau kita nggak siap mandiri secara teknologi dan data, bisa-bisa “netralitas” cuma jadi ilusi karena semua infrastruktur digital dikuasai asing. Itulah kenapa netralitas hari ini nggak bisa lepas dari kemandirian nasional. Mau tetap relevan, Indonesia harus kuat di dalam dulu, ekonomi stabil, politik solid, dan SDM tangguh.
Pada akhirnya, netralitas bukan berarti menjauh dari dunia, tapi justru terlibat dengan cara yang cerdas. Dunia mungkin nggak netral, tapi Indonesia bisa tetap berdiri dengan prinsipnya: bebas menentukan arah, aktif memperjuangkan kepentingan, dan nggak mudah ditarik ke dalam pusaran konflik global. Di tengah rivalitas dua raksasa, kemampuan untuk tetap rasional, fleksibel, dan mandiri justru jadi kekuatan diplomatik paling berharga yang dimiliki Indonesia.
*) Penulis adalah Arwinda Yuliani Roito Br. Panjaitan, Mahasiswa Universitas Sriwijaya.
- Penulis: admin