Dari Medan Tempur ke Server: Dominasi Baru Revolusi Militer di Era AI Warfare
- account_circle admin
- calendar_month Rab, 15 Okt 2025

Kolaborasi antara teknologi kecerdasan buatan dan kekuatan militer sebagai simbol transformasi perang di era AI Warfarfe. (Foto: Pinterest).
Lens IDN, Opini – Perang tidak lagi hanya tentang senjata, peluru, dan darah. Kini, perang dapat berlangsung di balik layar monitor dan baris-baris kode di ruang digital yang tak terlihat mata. Kehadiran kecerdasan atau AI (Artificial Intelligence) dalam dunia militer menandai babak baru dalam Revolution in Military Affairs (RMA) dimana kekuatan negara tidak hanya diukur dari jumlah tank atau rudal, tetapi juga dari kemampuan algoritma dan sistem komputasi yang mereka kuasai.
Rivalitas Amerika-Tiongkok di Militer Masa Depan
Amerika Serikat dan Tiongkok muncul sebagai dua aktor utama dalam transformasi ini, seperti pada Project Maven milih Departemen Pertahanan Amerika Serikat yang menggunakan AI untuk menganalisis ribuan jam rekaman drone guna mengindentifikasi target musuh secara otomatis. Teknologi ini membantu pengambilan keputusan militer dilakukan dalam hitungan detik tanpa harus menunggu perintah langsung dari pusat komando. Tiongkok tidak tinggal diam, negara ini secara agresif mengembangkan teknologi drone otonom, sistem pertahanan siber berbasis machine learning, serta kemampuan analisis data melalui perusahaan seperti SenseTime dan Huawei Technologies. Tiongkok bahkan telah menguji drone swarm, yakni ratusan drone kecil yang mampu berkoordinasi layaknya segerombolan lebah untuk menyerang target dengan efisiensi tinggi. Persaingan ini memperlihatkan bahwa medan tempur di masa yang akan datang bukan lagi didominasi manusia, melainkan kolaborasi atau kompetisi antara manusia dan mesin.
Cyber-Physical Warfare: Perang Dua Dimensi
Pada era baru ini juga memperkenalkan istilah yang disebut Cyber-Physical Warfare, yaitu perpaduan antara dunia fisik dan digital dalam konteks peperangan. Artinya, serangan siber kini bisa menimbulkan dampak langsung di dunia nyata. Contohnya adalah perang Rusia-Ukraina. Sebelum terjadinya invasi fisik pada Februari 2022, Rusia melancarkan serangan siber secara besar-besaran terhadap infrastuktur Ukraina. Serangan malware NotPetya dan Industroyer berhasil melumpuhkan jaringan listrik dan mengacaukan logistik militer. Meski buakn bagian dari rivalitas langsung dari Amerika-Tiongkok, konflik ini menjadi laboratorium strategis bagi kedua negara untuk memahami efektivitas perang dunia dua dimensi. Cyber-Physical Warfare juga membuka kemungkinan baru dalam strategi militer seperti sabotase digital terhadap sistem persenjataan lawan, manipulasi data intelijen, hingga perang psikologis berbasis disinformasi. Dalam konteks ini, penulis melihat keamanan digital setara pentingnya dengan kekuatan nuklir. Negara yang gagal melindungi infrastrukturnya dari serangan siber dapat kalah tanpa satu peluru pun yang ditembakkan.
Rivaliatas antara Amerika-Tiongkok dalam AI militer sebenarnya berakar dari visi strategis yang berbeda. Amerika menekankan pada kolaborasi sipil dan militer melalui perusahaan teknologi besar seperti Google, Palantir, dan Lockheed Martin. Sebaliknta, Tiongkok menerapkan pendekatan state-led di mana pengembangan AI dijadikan bagian dari agenda nasional, seperti yang tertuang dalam Next Generation Artificial Intelligence Development Plan (2017). Tiongkok menargetkan diri menjadi pemimpin dunia dalam AI pada tahun 2030, sementara Amerika berupaya mempertahankan posisi dominannya melalui inovasi dan kemitraan internasional.
Dilema Etika dan Ancaman Kemanusiaan
Inovasi teknologi memang selalu datang bersama konsekuensinya, yakni dilema etika. Bagaimana jika drone otonom salah mengenali target sipil sebagai ancaman militer? Siapa yang bertanggung jawab jikalau keputusan “menyerang” dibuat oleh sistem, bukan manusia? Menurut saya, pertanyaan-peertanyaan ini tidak sekedar hipotesis, melainkan ancaman nyata bagi tatanan hukum internasional dan prinsip kemanusiaan. Bahkan PBB dan berbagai organisasi hak asasi manusia telah menyerukan pembentukan regulasi internasional yang membatasi penggunaan “Lethal Autonomous Weapon Systems” (LAWS), yakni senjata yang dapat memutuskan untuk membunuh tanpa campur tangan manusia. Sayangnya, negara-negara besar termasuk Amerika dan Tiongkok masih enggan membatasi diri karena khawatir kehilangan keunggulan strategis.
AI Menentukan Nasib Perang
Kesimpulannya, revolusi militer global yang didorong oleh AI bukan sekedar perubahan teknologi, melainkan pergeseran paradigma kekuasaan. Dari rivalitas Amerika-Tiongkok diperlihatkan bahwa kekuatan militer masa depan tidak bergantung pada besarnya pasukan, tetapi kecerdasan sistem yang dikendalikan. Di tengah ambisi kedua raksasa ini, muncul pertanyaan “apakah manusia masih menjadi pengendali utama dalam perang atau malah hanya menjadi penonton di medan algoritma?” Jika AI dibiarkan berkembang tanpa batasan etika secara hukum, maka perang bukan lagi tentang siapa yang menang, tetapi siapa yang masih punya kendali. Dalam pandangan saya, dunia perlu segera membangun norma global baru untuk memastikan bahwa AI tetap menjadi alat, bukan penguasa. Sekali AI mnegambil alih keputusan di luar nalar manusia, garis antara keamanan dan kehancuran bisa lenyap dalam satu kali klik. Dunia tidak boleh hanya terpaku pada efisiensi dan kecepatan, tetapi juga harus mempertanyakan untuk siapa teknologi ini bekerja dan terhadap siapa dia diarahkan. Rivalitas Amerika dan Tiongkok seharusnya menjadi cermin bagi komunitas internasional bahwa supremasi militer tanpa adanya moralitas hanya akan membawa dunia pada ketakutan baru.
*) Penulis adalah Anggun Adelia, Mahasiswa S1 Hubungan Internasional, Universitas Sriwijaya.
- Penulis: admin