Keadilan yang Tertunda: Menakar Kasus Perundungan Timothy Anugerah Saputra dari Perspektif Hukum dan Kegagalan Sistemik
- account_circle admin
- calendar_month 6 jam yang lalu

Abd. Wafi, S.H., Pengacara Muda asal Madura. (Foto: Dok/Ist).
Lens IDN, Opini – Kasus tragis yang menimpa Timothy Anugerah Saputra, seorang mahasiswa yang kehilangan nyawanya akibat perundungan, telah mengguncang nurani bangsa. Tragedi ini bukan hanya tentang hilangnya satu nyawa muda yang penuh potensi, melainkan juga potret buram dari kegagalan sistem hukum dan dunia pendidikan dalam memberikan perlindungan terhadap warganya. Peristiwa ini menegaskan bahwa kekerasan di lingkungan akademik bukanlah insiden terisolasi, melainkan fenomena sistemik yang mencerminkan lemahnya penegakan hukum dan nihilnya kesadaran moral institusional.
Bullying: Dari Tindakan Amoral Menjadi Kejahatan Hukum
Secara sosiologis, perundungan (bullying) sering kali dianggap bagian dari “proses pendewasaan” atau “tradisi senioritas”. Namun, dalam perspektif hukum, tindakan tersebut memiliki konsekuensi pidana yang nyata. Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur penganiayaan, sementara Pasal 335 KUHP menyebutkan perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan dengan ancaman kekerasan atau paksaan. Dalam konteks penghinaan dan kekerasan verbal, Pasal 310 dan 311 KUHP juga dapat diterapkan, sedangkan kasus perundungan yang dilakukan di ruang digital dapat dijerat melalui Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Namun, akar persoalannya jauh lebih dalam dari sekadar tindakan individu. Budaya permisif terhadap kekerasan, terutama di lembaga pendidikan, telah melahirkan siklus kekerasan yang seolah dilegitimasi oleh tradisi. Prof. Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, menegaskan bahwa “hukum tidak boleh tunduk pada budaya kekerasan; hukum justru harus menjadi kekuatan untuk mengubah budaya itu.” Pernyataan tersebut menegaskan bahwa setiap bentuk kekerasan, baik verbal maupun fisik, tidak bisa dibenarkan atas nama “pembentukan mental”.
Tragedi Timothy menjadi bukti nyata bahwa hukum sering kali datang terlambat—baru hadir ketika korban telah tiada. Pada titik ini, hukum kehilangan fungsinya sebagai alat pencegahan dan hanya berperan sebagai sarana penghukuman belaka.
Kegagalan Lembaga Pendidikan: Antara Kelalaian dan Tanggung Jawab Hukum
Institusi pendidikan seharusnya menjadi ruang aman bagi tumbuhnya nalar, etika, dan kemanusiaan. Namun, dalam kasus ini, lembaga pendidikan justru menunjukkan kelalaian yang sistemik. Dalam perspektif hukum perdata, kelalaian atau negligence dapat menimbulkan tanggung jawab hukum apabila suatu pihak tidak menjalankan kewajiban untuk mencegah kerugian yang dapat diperkirakan sebelumnya.
Prof. Satjipto Rahardjo, tokoh pembaharu hukum Indonesia, pernah menyatakan bahwa “hukum harus hidup di tengah masyarakat, bukan hanya di dalam buku.” Prinsip ini menegaskan bahwa hukum pendidikan tidak boleh berhenti di tataran regulasi administratif, melainkan harus diinternalisasikan dalam kultur kampus dan perilaku civitas akademika.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi memang telah menerbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Namun, regulasi ini belum mencakup secara eksplisit bentuk kekerasan non-seksual seperti perundungan fisik, psikis, atau sosial antarmahasiswa. Kekosongan normatif inilah yang kemudian menciptakan ruang abu-abu dalam penegakan hukum kampus terhadap perundungan.
Jika terbukti adanya kelalaian lembaga pendidikan dalam mencegah terjadinya perundungan, maka lembaga tersebut tidak hanya memiliki tanggung jawab moral, tetapi juga tanggung jawab hukum. Negara harus menegaskan bahwa setiap institusi pendidikan wajib melaksanakan prinsip due diligence — kewaspadaan dan pencegahan aktif terhadap segala bentuk kekerasan.
Aspek Pidana dan Prinsip Pertanggungjawaban Pelaku
Dari sudut pandang hukum pidana, tindakan perundungan yang menyebabkan luka berat atau kematian dapat dijerat dengan Pasal 351 ayat (3) KUHP, dengan ancaman pidana penjara maksimal tujuh tahun. Apabila ditemukan unsur kesengajaan atau pola kekerasan berulang, maka unsur mens rea (niat jahat) dapat menjadi dasar untuk memperberat hukuman, bahkan menuju pada kategori delik berat.
Menurut Prof. Barda Nawawi Arief, ahli hukum pidana dari Universitas Diponegoro, “setiap tindakan yang dilakukan dengan kesadaran akan risiko yang dapat membahayakan nyawa orang lain, meskipun tanpa niat eksplisit untuk membunuh, tetap harus dianggap sebagai perbuatan pidana yang serius.” Pernyataan ini memperjelas bahwa perundungan yang sistematis tidak bisa dipandang sebagai “kenakalan biasa” melainkan sebagai bentuk kekerasan yang terencana dan terstruktur.
Selain pelaku langsung, hukum juga mengenal konsep penyertaan (deelneming) sebagaimana diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP, yang mencakup mereka yang membantu, memerintahkan, atau bahkan membiarkan kejahatan terjadi. Dalam konteks ini, mahasiswa yang ikut menonton, merekam, atau menyebarkan video perundungan tanpa mencegahnya dapat dikategorikan sebagai pihak yang turut serta melakukan kejahatan.
Hukum harus menegaskan bahwa tanggung jawab pidana tidak hanya melekat pada tangan yang memukul, tetapi juga pada mata yang menonton tanpa empati dan mulut yang diam melihat ketidakadilan.
Kelemahan Regulasi dan Tantangan Penegakan Hukum
Indonesia hingga kini belum memiliki undang-undang khusus tentang perundungan (anti-bullying law). Kondisi ini menyebabkan aparat penegak hukum harus “menjahit” berbagai ketentuan dari KUHP, UU ITE, dan UU Perlindungan Anak untuk menjerat pelaku. Pendekatan tambal-sulam seperti ini sering kali menciptakan ketidakkonsistenan hukum dan membuka celah bagi pelaku untuk lolos dari jerat pidana berat.
Dr. I Wayan Kandia, pakar hukum dari Universitas Udayana, menyebutkan bahwa “ketiadaan regulasi khusus membuat perlindungan hukum bagi korban bullying belum optimal.” Pendapat ini sejalan dengan pandangan Komnas HAM dan Komnas Perempuan, yang menilai bahwa kekerasan psikis dan sosial sering kali diabaikan dalam mekanisme hukum formal, padahal dampaknya bisa lebih destruktif dibandingkan kekerasan fisik.
Selain itu, hambatan terbesar dalam penegakan hukum adalah budaya diam (culture of silence). Banyak korban dan saksi yang enggan melapor karena takut dikucilkan atau tidak percaya pada sistem. Ketakutan ini menciptakan impunitas moral dan menjadikan kampus sebagai ruang kekerasan yang dibiarkan hidup dalam diam.
Perlindungan Korban dan Reformasi Kultural Kampus
Langkah hukum tidak akan berarti tanpa perubahan budaya. Kampus perlu membentuk Satuan Tugas Anti-Perundungan (Satgas Anti-Bullying) yang berfungsi sebagai sistem deteksi dini terhadap segala bentuk kekerasan. Penegakan hukum harus diiringi dengan pendidikan karakter, empati sosial, dan pelatihan resolusi konflik.
Pendekatan restorative justice memang penting untuk membangun kesadaran dan tanggung jawab sosial, namun penerapannya harus proporsional. Dalam kasus yang menyebabkan hilangnya nyawa seperti yang dialami Timothy, pendekatan ini tidak lagi relevan; keadilan retributif harus ditegakkan.
Prof. Muladi, almarhum pakar hukum pidana Indonesia, pernah menulis bahwa “keadilan yang menenangkan masyarakat adalah keadilan yang memadukan kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan moral.” Oleh karena itu, kasus Timothy tidak boleh berhenti pada proses hukum semata. Ia harus menjadi momentum untuk melakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem hukum dan budaya pendidikan nasional.
Dari Empati ke Aksi: Membangun Kesadaran Hukum yang Hidup
Kematian Timothy Anugerah Saputra harus menjadi alarm keras bagi seluruh pemangku kepentingan: negara, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Hukum tidak boleh hanya hadir setelah korban jatuh, melainkan harus menjadi pagar yang mencegah tragedi sejak awal.
Setiap tindakan kekerasan — sekecil apa pun — adalah kejahatan, bukan bentuk pembelajaran. Negara harus lebih kuat dari gengsi institusi, dan masyarakat harus lebih berani dari budaya diam.
Kasus ini bukan sekadar tragedi kemanusiaan, melainkan ujian terhadap keberpihakan hukum: apakah ia benar-benar melindungi yang lemah, atau hanya berdiri di sisi yang kuat. Keadilan bagi Timothy bukan hanya tentang menghukum pelaku, tetapi juga memperbaiki sistem yang selama ini membiarkan kekerasan tumbuh dalam sunyi.
Jika hukum gagal melindungi satu nyawa muda dari perundungan, maka sesungguhnya hukum itu telah kehilangan maknanya sebagai penjaga keadilan.
*) Penulis adalah Abd. Wafi, S.H., Pengacara Muda asal Sampang Madura, sekarang sedang menempuh pendidikan S2 di UIN Sunan Ampel Surabaya.
- Penulis: admin